Sunday, July 13, 2014

Review Deliver Us from Evil (2014), Iblis di Tengah Investigasi Polisi

Menonton film horor mancanegara menjadi sebuah tren tersendiri di kalangan penggemar genre tersebut. Maka, tak heran jika film bernuansa mengerikan ini mampu membuat penonton antri di loket bioskop.

Pada 2014 ini, tercatat hanya sedikit judul film horor mancanegara yang memenuhi bioskop tanah air, contoh saja Devil’s Due dan Oculus. Kini, sebuah film horor baru bertema eksorsisme alias pengusiran setan baru saja dirilis dengan judul Deliver Us from Evil.
Bisa dibilang, `Deliver Us from Evil` merupakan salah satu film horor yang dikemas dengan cukup unik. Pasalnya, tokoh utama dalam film ini adalah seorang polisi yang memiliki insting tajam dalam mengungkap kejahatan di kotanya. Aktor Eric Bana mendapat kehormatan sebagai sang tokoh utama bersama Edgar Ramirez dan Olivia Munn.













Disutradarai oleh Scott Derrickson, `Deliver Us from Evil` diambil dari kehidupan nyata seorang polisi bernama Ralph Sarchie yang kemudian menjadi seorang demonologist. Naskahnya sendiri diadaptasi dari buku karya Ralph dan Lisa Collier Cool berjudul Beware the Night yang dirilis pada 2001.
Keunikan film horor ini bisa dilihat di bagian awalnya yang memperlihatkan para serdadu Amerika sedang berperang di Irak hingga akhirnya mereka menemukan sebuah ruang bawah tanah yang sangat mistis.
Setelah kembali ke Amerika Serikat, beberapa dari mereka sering membuat ulah yang berujung pada tindak kekerasan yang janggal. Hal itu membuat Ralph Sarchie yang masih menjadi polisi kota New York harus memecahkan kasusnya.
Alhasil, Ralph dan rekannya malah dibawa ke beragam misteri yang memaksa mereka untuk terus menginvestigasi kasusnya. Ralph kemudian berkenalan dengan seorang pendeta bernama Mendoza yang menguasai cara pengusiran setan.












Seiring berjalannya waktu, Ralph akhirnya bisa menemukan jalan terhadap rentetan kejadian aneh dari kasus yang sedang ditanganinya itu. Ternyata, mereka semua berhadapan dengan sebuah kekuatan iblis yang sangat sulit dibendung.

Setelah investigasinya memakan korban, Ralph pun mulai khawatir saat anak dan istrinya turut dilibatkan hingga akhirnya menghilang. Ia pun terpaksa meminta bantuan Mendoza agar bisa mengalahkan sosok iblis yang mendominasi tubuh dari salah satu veteran perang tersebut. Untungnya, Ralph sukses menuntaskan kasusnya hingga membawanya tertarik ke dunia paranormal.













`Deliver Us from Evil` memang tidak berpotensi menjadi film horor terbaik seperti halnya The Conjuring yang dirilis 2013 lalu. Akan tetapi, banyak para penggemar horor yang menganggap film ini cukup membuat bulu kuduk merinding.


Salah satu komentar datang dari Marcell Siahaan, penyanyi yang tenar dengan tembang Semusim. Ia mengaku bahwa filmnya memiliki bobot yang luar biasa. "Saya menyukai berbagai dialog yang ada di film ini. Benar-benar membongkar anggapan banyak orang mengenai reliji dan hal-hal mistis," ujarnya saat menghadiri premiere film yang diselenggarakan di Djakarta Theater pada Selasa (1/7/2014) malam lalu.


Selain itu, beberapa penonton pun tampak puas dengan film ini. "Banyak sekali adegan yang membuat saya merinding dan masih kepikiran sampai sekarang. Filmnya sendiri benar-benar menegangkan dan cukup mencekam," ungkap salah satu penonton.












Terlepas dari pujian yang ada, `Deliver Us from Evil` memiliki muatan horor yang cukup mencekam, terutama efek suara dan make-up, meskipun di awal cerita kita hanya disuguhi oleh alur bertema kriminal. Selain itu, tampak jelas bahwa para pembuat film ingin memadukan unsur supranatural dengan investigasi kepolisian.

Kritik bagi film ini bisa ditujukan pada kurangnya penjelasan beberapa hal berbau supranatural dan terlalu ditonjolkannya unsur laga serta komedi terselubung yang terkadang mengurangi nuansa seram film ini.
Meski demikian, kehadiran `Deliver Us from Evil` di bioskop tanah air paling tidak mampu memuaskan dahaga para penggemar film horor. Sehingga, jika Anda ingin mencari variasi tontonan di tengah maraknya peperangan antara Autobot dan Decepticon, maka film ini bisa menjadi sebuah suguhan alternatif bersama teman-teman dan pasangan Anda. 

Sumber : http://showbiz.liputan6.com 
Score : 6.5 dari 10

Directed by Sccot Derrickson Produced by Marty Bowen, Wyck Godfrey, Michele Imperato, Isaac Klousner, Written by Sccot Derrickson, Paul Harris Boardman, Ralph Sanchie Starring Eric Bana, Edgar Ramirez, Ollivia Munn, Chris Coy, Sean Harris, Mike Houston, Lulu Wilson Music by Christoper Young Editing by Jason Hallman Studio Screen Gems (Sony) time 120 minutes Country United States Language English

Sunday, July 6, 2014

ZALIA : Moslem Wear Collection by Zalora


Zalora sebagai situs e-commerce terbesar dan tercepat di Asia Tenggara membuktikan perannya untuk memajukan busana muslim melalui dukungannya bersama Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia) untuk menjadikan Indonesia sebagai Moslem Fashion Capital di tahun 2020. 


  
untuk mendukung program ini maka Zalora meluncurkan lini busana terbarunya dengan merambah bisnis busana muslim. Zalia menjadi nama brand yang diusung situs fashion e-commerce terbesar di Asia Tenggara ini. Public Relations Manager Zalora Indonesia, Anggita Vela, mengatakan Zalia merupakan bentuk dukungan Zalora untuk memajukan busana muslim tanah air dan demi terwujudnya Indonesia sebagai pusat busana muslim dunia di tahun 2020. “Zalora berharap dengan mengapresiasi insan kreatif dalam dunia busana muslim, serta menghadirkan koleksi terbaru busana muslim dari Zalia memberikan nuansa baru di industri busana Indonesia, Pada kesempatan ini Zalora memberikan peluang pada para desainer busana muslim untuk dapat mengembangkan kreatifitas dan bisnisnya, sekaligus mengajak mereka berkontribusi dalam membawa Indonesia sebagai pusat busana muslim dunia. “Peluncuran Zalia by Zalora ini sekaligus menghantarkan Dian Pelangi untuk pertama kalinya menjual produknya melalui e-commerce, di samping itu dengan dukungan dari Jenahara dan Ria Miranda, kami berharao apresiasi konsumen menjadi semakin loyal dengan Zalora,” ujar Anggita. Zalia hadir dengan memberikan pilihan busana muslim berupa baju koko, kaftan, pashmina, hingga aksesoris pendukung lainnya.

Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pertumbuhan bisnis pasar busana Muslim semakin menggairahkan dengan data transaksi busana muslim Eropa sebesar 1,5 miliar dolar per tahun. Managing Director Zalora Indonesia, Magnus Grimeland, mengatakan peluang tersebut salah satunya membuka wacana untuk Indonesia menjadi pasar busana muslim dunia di tahun 2020.
“Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, mayoritas populasinya adalah Muslim. Selain itu, setidaknya 75 juta orang online setiap harinya menjadikan Indonesia pasar yang potensial,” kata Magnus. Oleh karena itu, tambahnya, Zalora pun mendukung penuh gagasan tersebut dan berupaya mewujudkan program tersebut dengan memberikan wadah dan apresiasi terhadap para pelaku dalam industri busana Muslim Indonesia.

Zalora adalah situs ecommerce feseyen terbesar di Asia Tenggara. Didirikan pada awal 2012, Zalora telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Hong Kong. Menawarkan koleksi lebih dari 500 merek lokal dan internasional dan desainer. Zalora Indonesia merupakan bagian dari Zalora Group, yang didirikan pada akhir 2011 oleh Rocket Internet GmbH, yang mencakup grup retail fashion online terkemuka di Asia Pasifik “The Iconic” di Australia dan Selandia Baru. Rocket Internet GmBH adalah inkubator startup online terbesar di dunia, beberapa usaha lainnya yang hadir di Indonesia meliputi Wimdu, Foodpanda, PricePanda, Lamudi, dan Carmudi.

selain itu situs belanja online Zalora dan Kementrian Perindustrian dan Ekonomi Kreatif memberikan penghargaan bagi para desainer, selebriti, selebgram juga hijabers Indonesia. Penghargaan ini diberikan karena mereka dianggap telah menjadi sumber inspirasi hijabers lainnya.
Penerima penghargaan tersebut diantaranya Dian Pelangi, Ria Miranda, dan Jenahara menjadi tiga perancang muda yang menerima penghargaan tersebut. Ada pula ikon fashion muslimah yaitu Alyssa Soebandono dan Zaskia Adya Mecca. Shireeenz dan Zahratul Jannah, yang merupakan ikon komunitas hijab selebriti Instagram pun terpilih sebagai penerima penghargaan tersebut. Tujuan pemberian penghargaan ini agar para pelaku fashion muslim semakin kreatif ke depannya.

Sumber : http://wolipop.detik.com/
               http://showbiz.metrotvnews.com/

Photos by : Mohammad Rizki Syahmanda


The Fault in Our Stars (2014), Tontonan Sedih nan Indah

Kapan terakhir Anda menonton film yang membuat air mata menggenang?
Jika ingin membuktikan diri sejauh mana Anda bisa menahan tangis saat menonton film, The Fault in Our Stars adalah pilihan tepat untuk menguji ketangguhan Anda. Kerap dikatakan, jangan lupa membawa tisu saat menonton film ini. Dan himbauan itu benar adanya. Entah Anda wanita atau pria, sulit rasanya untuk tidak menangis dan larut dalam kesedihan ketika menonton film yang diangkat dari novel laris karya John Green ini.
Bagusnya `The Fault in Our Stars` bukanlah kesedihan yang dijual. Kisahnya bukan hendak menguras air mata Anda berkali-kali, dalam arti sineasnya membangun cerita dengan menempatkan momen-momen yang bakal bikin sedih di sejumlah tempat sepanjang film. Bukan. Film ini tidak pakai trik murahan begitu.
Bak sebuah bangunan, filmnya disusun bata demi bata untuk di puncaknya kita tak sanggup menahan tangis lantaran kita tak rela melihat akhir kisah cinta tokoh utamanya.
Pertama, kita dikenalkan pada karakter Hazel Grace Lancaster yang dimainkan Shailene Woodley. Umurnya 16 tahun dan menderita kanker tiroid. Ia betahan hidup berkat obat Phalanxifor yang rutin diminumnya sambil pernapasannya dibantu tanki oksigen mini yang dibawanya ke mana-mana di dalam tas. Kita juga bertemu karakter utama satu lagi, Augustus Waters yang dimainkan Ansel Esgort. Augustus pernah menderita kanker osteosarkoma dan harus diamputasi salah satu kakinya. Augustus pakai kaki palsu, tapi kankernya hilang.
Menarik bagaimana dua tokoh utama kita ini digambarkan di film. Hazel Grace adalah tipikal gadis cantik yang menderita sakit. Mudah bagi kita jatuh hati padanya, merasa kasihan dan mungkin sudah menebak di awal film, tokohnya bakal dimatikan di ujung agar kita menangis sedih.
Sedang Augustus juga tipikal pangeran tampan yang bakal memikat gadis mana saja yang menatap mata ataupun senyumannya. Augustus digambarkan sebagai pria cool yang bersikap seolah paling tampan. Karakter macam begini tipikal, sebetulnya. Tokoh Rahul yang dimainkan Shahrukh Khan di Kuchkuch Hota Hai pun punya sifat seperti ini.
Augustus yang sok cool yang ingin mencintai Hazel, sedang Hazel sendiri bersikap defensif. Hazel tak ingin larut jatuh cinta karena ia merasa dirinya adalah granat yang setiap saat bisa meledak, melukai orang-orang yang dicintai ataupun mencintainya.
***
Yang serba tipikal di film ini toh tetap membuat kita jatuh hati pada karakternya. Hal ini tak lepas dari chemistry yang sangat kuat antara Woodley dengan Esgort. Mereka adalah pasangan di dalam layar yang paling meyakinkan sebagai kekasih dalam film Hollywood sejak... Entah sejak kapan.
Sejak awal kita sudah tahu mereka akan menjadi sepasang kekasih. Tapi bukan itu yang penting. Melainkan, sekali lagi, bagaimana filmnya dibangun bata demi bata agar kita jatuh hati pada pasangan ini.
Penonton berhasil dibuat sutradara Josh Boone jatuh hati pada Hazel dan Augustus. Dan dengan demikian, film ini telah berhasil menarik simpati penontonnya. Yang menonton ingin cinta mereka terwujud bahagia di akhir film.
Namun, seakan ada hukum tak tertulis berlaku di sini: kisah cinta yang akan selalu dikenang abadi justru bukan cerita cinta yang berakhir bahagia seperti kisah dongeng yang ditutup "Dan mereka hidup bahagia selamanya." Bukan. Romeo & Juliet berakhir dengan kematian, bahkan begitu pula Titanic-nya Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet.
`The Fault in Our Stars` pun tampak hendak menapaki jalan ini. Namun adalah sebuah perbuatan kriminal rasanya bila ulasan ini menyebut siapa yang mati di film ini. Yang patut disampaikan sebagai undangan bagi Anda menonton film ini adalah, sungguh menarik bagaimana kisahnya tidak jatuh menjadi cerita tentang orang-orang sakit yang patut mendapat belas kasihan. Kisah cinta Hazel dan Augustus sejatinya adalah sebuah petualangan mencari kesembuhan dalam bentuk lain. Mereka bertualang hingga ke Belanda untuk mencari sebuah jawaban atas sederet pertanyaan. Mereka bukan orang-orang yang minta dikasihani.
***
Saat menonton, saya dua kali menitikkan air mata. Dua-duanya bukan di akhir film. Saat film berakhir, saya justru pulang dengan bahagia meski tahu pasangan yang saya harap bersatu tak kesampaian. Saya bahagia karena filmnya berakhir manis dengan caranya sendiri: jawaban yang dicari akhirnya didapat. Sambil melihat tokohnya tersenyum memegang secarik kertas peninggalan sang kekasih, kita pun ikut tersenyum. Ah... sebuah tontonan indah yang sulit dilupakan.

Sumber : http://showbiz.liputan6.com 
Score : 8.4 dari 10

Directed by Josh Boone Produced by Marty Bowen, Wyck Godfrey, Michele Imperato, Isaac Klousner, Written by Scoot Neustadter, Michael H. Weber, John Green Starring Shailene Woodley, Ansel Elgort, Nat Wolff, Laura Dern, Sam Trammell, Lotte Verbeek, Ana Del Cruz, Music by Mike Mogis, Nate Walcott Editing by Robb Sullivan Studio 20th Century Fox Running time 126 minutes Country United States Language English